Hipotesa lainnya, internet dapat mempercepat penyebaran ide-ide ekstremisme dan terorisme. Sederhana tapi penyebarannya sangat luas. Gerakan radikalisme cyber ini sangat masif sekali.
“Di google, tinggal menulis ‘cara membuat bom’ yang muncul 6,9 juta. Pemerintah belum melakukan takedown terkait ini. Hal ini mesti jadi perhatian,” jelasnya.
Belum lagi kelompok radikal gerakan takfiri dan hijrah. kelompok radikal ini mempunyai ideologi hijrah dan jihad. Tapi sekarang di Indonesia hijrah menjadi istilah yang menunjukkan orang paling beragama. Padahal setelah nabi sudah tidak ada lagi.
“Hijrah bagi mereka sesungguhnya mendirikan negara Islam khilafah. Kemudian disempurnakan dengan menghalalkan segala cara. Langkah pertama sudah selesai, tinggal jihadnya,” ungkap Zuhairi.
Hipotesa keempat yaitu internet memungkinkan radikalisasi tanpa melalui perjumpaan fisik. Setiap saat orang melihat internet. Memang perlu diintervensi karena begitu besar pengaruh cyber ini.
“Hipotesa kelima yakni internet memungkinkan seseorang melakukan radikalisasi secara mandiri (self-radicalization). Jalan keluarnya adalah penegakan hukum bagi mereka yang terlibat dalam gerakan ekstremisme dan terorisme. Deradikalisasi terhadap mereka yang mempunyai ideologi dan pemikiran ekstremisme dan terorisme. Termasuk radikalisasi Pancasila bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga tidak mudah diinfiltrasi oleh paham-paham ISIS,” sebutnya.
Sementara itu, Romzi Ahmad, menyampaikan pemikirannya tentang kemungkinan potensi wabah Covid-19 dijadikan alat untuk menyebarkan paham radikalisme. Potensi selalu ada, tapi tergantung pada penetrasi di media sosial.