“Gugatan saya di pengadilan masih berproses, belum inkrah. Sekarang tahap replik. Tapi anehnya mereka sudah mengeksekusi warung-warung dengan melakukan pembongkaran paksa. Padahal warung-warung ini berdiri di atas tanah negara bebas. Artinya tidak ada yang punya hak atas tanah di kawasan ini. Kalau tanah negara bebas itu harus dikuasai oleh negara bukan dimiliki,” ujar Sulfa.
Sulfa mengaku pekan depan akan mengajukan gugatan kepada Kementerian Kehutanan sekaligus menterinya yang telah memberikan izin pemanfaatan lahan ke pihak swasta. Sebab, pengelola kawasan Cagar Alam ini belum menunjukkan status haknya.
“Saya harap tunda pembongkaran warung-warung sekarang juga. Seharusnya perusahaan yang diberi izin pengelolaan kawasan Cagar Alam datang dulu ke saya sebelum ada pembongkaran. Nanti akan saya ajukan lagi gugatan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah,” tegasnya.
Sementara itu, penggagas pembangunan musala di kawasan Cagar Alam, Yusriana, meminta pihak perusahaan pengelola kawasan wisata Sukawayana maupun KSDA dapat mengganti biaya pembangunan tempat peribadatan bagi umat muslim tersebut. Bahkan sebelum diratakan dengan bechko, dirinya dan warga setempat berupaya akan membongkar musala secara swadaya. Namun, pembongkaran tetap dilakukan oleh petugas gabungan.
“Minimal petugas gabungan punya empati sebelum membongkar musala ini. Padahal saya ingin membongkar sendiri supaya materialnya bisa disedekahkan ke pesantren maupun dimanfaatkan warga yang membutuhkan. Saya meminta pihak-pihak terkait mengganti biaya pembangunan musala. Nanti uangnya akan saya sumbangkan ke pesantren dan anak yatim,” tandasnya.