<strong>SUKABUMI</strong> | <strong>MAGNETINDONESIA.CO</strong> - Ratusan warung di dalam kawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Taman Wisata Alam Sukawayana di Desa/Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, dibongkar dan diratakan menggunakan beckho. Pembongkaran warung-warung berdasarkan surat peringatan kedua dan surat Kepala BBKSDA Jawa Barat Nomor: UN.1194/K.1/BKW.I/KSA.2.3/B/12/2024 tentang Rencana Aksi Penertiban Bangunan Tanpa Izin di dalam Kawasan Taman Wisata Alam Sukawayana. Alhasil, pembongkaran warung berikut musala yang berdiri di atas lahan Cagar Alam itu mendapat penolakan. Pasalnya, sebagian pemilik warung dan tempat peribadatan bagi umat Islam tersebut belum menerima uang kerohiman yang dijanjikan pihak KSDA. Bahkan satu di antara pemilik warung mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Sukabumi di Palabuhanratu. Kepala Resort KSDA Sukawayana, Isep Mukti, mengatakan, pembongkaran warung-warung yang menempati lahan kawasan Cagar Alam merupakan perintah dari BBKSDA. Sebab, lahan seluas 8,5 hektare di dalam kawasan ini sudah ada pemegang izin pemanfaatan dan pengelolaan untuk dijadikan sarana wisata. "PT Pasifik Budaya Pariwisata selaku pengembang akan melakukan penataan di kawasan KSDA Sukawayana yang merupakan tanah milik negara. Upaya kita hari ini membongkar warung-warung karena para pemiliknya sudah menerima uang kerohiman," kata Isep, kepada wartawan di lokasi pembongkaran warung, Selasa, 4 Februari 2025. Kuasa hukum salah satu pemilik warung, Dr Sulfa Azmi, SH, menegaskan, pembongkaran paksa terhadap warung-warung di kawasan Cagar Alam Sukawayana ini tak mengindahkan gugatan perdata di PN Kabupaten Sukabumi yang dilayangkan pemilik bangunan warung.<!--nextpage--> "Gugatan saya di pengadilan masih berproses, belum inkrah. Sekarang tahap replik. Tapi anehnya mereka sudah mengeksekusi warung-warung dengan melakukan pembongkaran paksa. Padahal warung-warung ini berdiri di atas tanah negara bebas. Artinya tidak ada yang punya hak atas tanah di kawasan ini. Kalau tanah negara bebas itu harus dikuasai oleh negara bukan dimiliki," ujar Sulfa. Sulfa mengaku pekan depan akan mengajukan gugatan kepada Kementerian Kehutanan sekaligus menterinya yang telah memberikan izin pemanfaatan lahan ke pihak swasta. Sebab, pengelola kawasan Cagar Alam ini belum menunjukkan status haknya. "Saya harap tunda pembongkaran warung-warung sekarang juga. Seharusnya perusahaan yang diberi izin pengelolaan kawasan Cagar Alam datang dulu ke saya sebelum ada pembongkaran. Nanti akan saya ajukan lagi gugatan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah," tegasnya. Sementara itu, penggagas pembangunan musala di kawasan Cagar Alam, Yusriana, meminta pihak perusahaan pengelola kawasan wisata Sukawayana maupun KSDA dapat mengganti biaya pembangunan tempat peribadatan bagi umat muslim tersebut. Bahkan sebelum diratakan dengan bechko, dirinya dan warga setempat berupaya akan membongkar musala secara swadaya. Namun, pembongkaran tetap dilakukan oleh petugas gabungan. "Minimal petugas gabungan punya empati sebelum membongkar musala ini. Padahal saya ingin membongkar sendiri supaya materialnya bisa disedekahkan ke pesantren maupun dimanfaatkan warga yang membutuhkan. Saya meminta pihak-pihak terkait mengganti biaya pembangunan musala. Nanti uangnya akan saya sumbangkan ke pesantren dan anak yatim," tandasnya.<!--nextpage--> <strong>Reporter</strong>: Bucong Nandi <strong>Editor</strong>: Rian Munajat